Kalau saja kita menyambut bulan lain layaknya Ramadan

Terlalu awal menulis ini? Ramadan baru saja dimulai. Tak apa. Mumpung terlintas. Mumpung teringat.

Entah kenapa, tahun ini saya cukup terkesiap dengan hingar-bingar sebelum dan selama Ramadan. Teman dan kerabat saling menyapa, saling meminta maaf, dan saling mendoakan; serta tak lupa membuat janji untuk buka puasa bersama—kesempatan reuni dengan teman lama.

Masyarakat menyambut gembira datangnya bulan yang karim dan bersemangat untuk memulai puasa. Saking semangatnya, kapan mulai puasa pun ramai diperbincangkan. Media massa semangat memberikan tips puasa dan menu khusus sahur dan berbuka.

Dari kemarin, saya mencoba menyimak kehingar-bingaran ini. Ada sesuatu yang mengganjal di saya. Tentu menyenangkan, tak ada salahnya saling menyapa, saling meminta maaf, dan semua tradisi ini. Luar biasa sebuah bulan dalam satu tahun (dan nantinya sebuah hari, Hari Raya Idul Fitri) dapat menggerakkan masyarakat sedemikian hebatnya; mengubah rutinitas, dan bahkan mengingatkan kita untuk kembali menyapa teman, kerabat, dan sesama insan.

Tapi—ya tentu ada tapi dalam tulisan ini—timbul pertanyaan: Lho kok tiba-tiba semangat begini?

Saya pun bertanya ke diri saya: Apa istimewanya Ramadan untuk saya pribadi? Di luar fungsi sosial yang saya sebutkan tadi, apakah Ramadan itu demikian istimewa buat saya secara pribadi? Bila semua faktor kerabat dan keluarga saya hilangkan, apakah Ramadan tetap istimewa buat saya?

Barangkali pertanyaan-pertanyaan saya ini merupakan bentuk kerinduan saya untuk lebih memahami hakikat Ramadan. Mengembalikan segala ibadah, juga tindakan, yang saya lakukan, di bulan ini ke niat dan adab sejatinya.

Puasa, saya baca di Twitter, berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kata dasar “upa” yg berarti “dekat” dan “wasa” yg berarti “Yang Kuasa.” Mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Keren.

Kata Shaum, dalam Bahasa Arab, berarti menahan. Puasa mencakup pengendalian diri atas seluruh anggota badan, pikiran, imajinasi dan hati kita dari melakukan segala macam dosa. Semacam menimbulkan kesabaran.

Saya sangat suka melihat beberapa teman saya memiliki niat untuk melaksanakan puasa di Ramadan ini dengan kesederhanaan, dalam arti, biasa saja, semua berjalan seperti biasa, kecuali fiqih puasanya itu sendiri. Tetapi berbuka makan biasa (atau bahkan lebih sederhana), demikian dengan sahur.

Ah, tapi sebenarnya saya tidak bertanya tentang puasanya, saya lebih bertanya tentang keistimewaan (berpuasa di) Bulan Ramadan-nya.

Pemahaman saya masih terlalu dangkal tentang makna samawi di balik bulan Ramadan (Rab zitni ilm. Amin.). Saya belum bisa paham kenapa kita bisa sesemangat itu menyambut Ramadan. Kalau soal puasa, khan bisa dilakukan kapan pun; atau semua kembali ke fungsi sosial dan kebersamaan yang saya sebutkan tadi? Ada banyak hadits yang menjelaskan, tentang dibelenggunya iblis selama Ramadan, tentang pahala berlimpah, tapi jujur masih belum bisa benar-benar saya resapi.

Apalagi saya meyakini pertentangan terbesar–seperti halnya jihad terbesar–ada di dalam nafs saya sendiri; dan hingga kini saya lebih senang memfokuskan diri kepada topik mendekatkan diri pada Tuhan ketimbang pahala/dosa/surga/neraka–khawatir kehilangan fokus.

Satu-satunya yang bisa saya pahami saat ini adalah bila dilakukan secara kolektif, seperti halnya puasa di Bulan Ramadan, mungkin semangat, energi, atau dampaknya di diri saya–atau diri kita semua–akan lebih besar.

Bayangkan bila kita memiliki semangat yang sama di bulan lain, untuk beribadah dalam arti seluas-luasnya, untuk saling menyapa, saling meminta maaf, dan saling mendoakan dengan sesama. Bukan main.

Selalu ada dalih, tujuannya memang itu, Ramadan adalah bulan latihan. Iya, tapi sampai kapan? Sudah berapa kali kita—atau saya—melewati Ramadan (Alhamdulillah)? Saya jadi bertanya ke diri saya, kalau ada pre- dan post-questionnaire, saya ingin tahu, apakah saya benar-benar membaik dalam jangka waktu sebulan itu? Meningkat, walau sedikit, dari iman menjadi takwa (QS 2:183)? Bagaimana dari tahun ke tahun?

Mungkin saatnya sudah tiba buat saya terutama untuk memperluas keistimewaan bulan ini dan menjadikan—seperti pernyataan teman saya yang saya suka—setiap hari sebagai Ramadan. Menjalani setiap hari, setiap detik dalam bulan Ramadan dan bulan-bulan lain sepanjang tahun dalam kesederhanaan dan keberadaan yang senantiasa menghadap secara tulus kepada Tuhan, semampu kita. Semoga.


About this entry