“Gak usah ngapa-ngapain. Pasrah aja”

[English]

a.k.a Rindu (II)

Kala itu kami berlima
Dia bertutur tentang ikhlas, tentang kembali ke fitrah
Tentang sejati yang senantiasa kita rindu
Sadar tak sadar

Aku terpekur menutup mata
Mencoba meraba rasa yang ada
Yang tak terasa ada

Ada setebal dinding menghalang
Antara aku dan apa yang ingin kurasa
Yang ingin kurasa kehadirannya
Aku ingin. Aku rindu. Rindu merindu.
Entah apa, tak terungkap
Ada setebal dinding yang tak kuasa kutepis

Kucetuskan ketakberdayaan ini
Kutanya apa yang perlu kuperbuat
Jawaban ringan terlontar disertai senyum lembut
“Gak usah ngapa-ngapain. Pasrah aja.”

Senyumku terkembang
Buat orang lain, lontaran itu bisa saja tak dihiraukan
Karena dianggap meremehkan
Buatku, celetukan itu adalah sapaan meringankan

Yang membuat rindu semakin mengemuka
Aku semakin ingin
Tapi kutahu semakin kuingin
Semakin perlu kulepas
Salah satu paradoks terbesar dalam hidupku

Untuk bisa sejatinya bergerak, perlu diam
Karena setiap gerak berakar pada diam
Untuk bisa sejatinya berbicara, perlu hening
Karena setiap ungkapan kata berakar pada hening
Untuk bisa sejatinya merengkuh, perlu melepas
Untuk bisa sejatinya berupaya, perlu berpasrah

Dan untuk bisa sejatinya mencinta, perlu merindu
Karena setiap rindu berakar pada cinta

Kelopak mataku terbuka, senyum pun merekah
Langkah ringan, hati menghangat, menjalar ke seluruhku

Rindu itu masih menggelora
Bahkan hebatnya semakin jelas
Tetapi hebatnya sudah tak lagi merupa berat yang membebani
Penglihatan dan pendengaranku sudah tak tertumpu pada berat itu
Beralih ke apa yang ada di baliknya. Indah

Rindu adalah sang penunjuk jalan dan kendaraan
Aku menuju-Mu, aku percaya sangat
Dan aku pun “Gak usah ngapa-ngapain. Pasrah aja
Satu-satunya jalan mencapai-Mu

“Mencapai-Mu”, ah, seolah ada tujuan di sana
Sementara aku masih di sini, jauh terasa kadang

Padahal aku menuju-Mu, adalah dari sini, ke sini
Sebuah perjalanan terjauh untuk tujuan terdekat

.dan aku, punya kamu untuk menemaniku.

.kangen.


About this entry